Jumaat, 20 Januari 2017

Sejarah Pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan












Muawiyah  adalah keturunan yang ke tiga dari Ummayyah  dengan silsilah Muawiyah  bin Sakhr (dikenal dengan sebutan Abu sufyan) Bin Harb Bin Ummayyah [4] bin Abu Sufyan, lahir di Makkah 15 tahun sebelum hijrah. Muawiyah bin abi sufyan masuk Islam  ketika terjadi fathu makkah. Saat itu ia baru berusia 23 tahun. Ia juga menjadi salah seorang periwayat hadis yang baik, pribadinya cerdas, selalu optimis dan mahir dalam mengatur strategi pemerintahan. 
Menjabatnya Muawiyah bin abi sufyan sebagai kepala Pemerintahan bukan atas keputusan totAlitas kaum Muslimin, ketika Kholifah Usman bin affa>n R.A. 
Kejadian tetbunuhnya Kholifah Usman bin Affan menjadi lahan membarahnya kaum munafiq dalam melancarkan fitnah-fitnah Intern kaum muslimin, desas-desus ketidak sepakatan dengan keputusa Sayyidina Ali .R.A yang telah mencopot beberapa pentolan-pentolan diwilayah Islam  dari keputusan Kholifah Usman yang memang mayoritas mempunyai hubungan darah dengan pimpinanyan yakni Kholifah Usman, ditambah lagi dari golongan Muawiyah  dengan egoisnya yang menginginkan keadilan atas pembunuhan Kholifah Usman belum juga terlaksana, di karenakan kholifah Ali  sibuk dalam sterilisasi perAli han kepemimpinan, memang sewajarnya seorang pemimpin memikirkan warga secara totAli tas tanpa pandang bulu, dari hemat pengamatan penulis kondisi ini sangat potensi kaum munafiqin untuk mengobrak-abrik ketaatan antara  bawahan terhadap pucuk pimpinan, factor fanatic ke sukuan yang kental menjadi angin pendorong layar keegoisan menuju pertempuran, sehingga benar-benar terjadi kaum yang terorganisir untuk menentang pemerintahan Kholifah Ali  yang sah.
tanggapan kubu sayyidina Ali  selalu siap meluruskan siapa saja yang menyimpang dari ajaran Islam  termasuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, yang akhirnya terjadilah peperangan yang di komandoi oleh sayyyidatina Aisyah popular dengan sebutan perang jamal pada tahun 36 H/657 M, perang jamal ini terjadi atas profokator Abdullah bin Zubair dan Tholhah yang menginginkan kedudukan Kholifah[5] menghasud Aisyah untuk memimpin perang melawan Kholifah Ali , namun Kholifah Ali  sangat mengetahui dalang pertempuran itu sehingga saat Zubair dan Tholhah terbunuh Kholifah Ali  sangat menyanjung Aisyah sebagai Ummul Mu’minin dan mengembAli kan Aisyah ke makkah dengan penuh penghormatan[6].
Para pemfitnah belum berhenti di sini, sahabat Muawiyah  bin abi sufyan yang menjadi gunernur Syam[7] belum membaiat Kholifah Ali , selalu di desak untuk mengadili pembunuh Kholifah usman dengan beberapa kampanye tidak boleh taat pada pemimpin yang tidak menjalankan syari’at Islam , melihat banyak nya kaum muslimin yang terpengaruh oleh fitnah-fitnah ini akhirnya Kholifah Ali  mengirimkan surat kepada Muawiyah  yakni bersedia Membai’at Kholifah Ali  atau meletakkan jabatannya, tetapi Muawiyah bin abi sufyan tidak menentukan pilihannya sebelum tuntutan dari keluarga Muawiyah  terpenuhi, kokohnya tuntutan  Muawiyah  kepada Ali  untuk mengadili pembunuh Usman, di sebabkan kubu Muawiyah bin abi sufyan mencium bau bahwa pelaku pembunuhan Usman adalah dari pihak Ali , bahkan pemimpinya Muhammad bin Abu Bakar[8] dijadikan Gubernur Mesir . 
Dari genjarnya kampanye yang di lakukan kubu Muawiyah  untuk menentang Kholifah Ali , semakin banyaklah para simpatisan Muawiyah , sehingga terkumpul pasukan yang siap meyerang rezim Kholifah Ali , Kholifah Ali  pun telah mempersiapkan pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan serta bantuan basukan dari Azerbejan dan Mesir  atas komando Muhammad bin Abu Bakar, sebelum terjadi peperangan, Kholifah Ali  terus menawarkan kepada Muawiyah  agar bisa membai’at Ali  atau terpaksa meletakkan Jabatan nya agar kaum muslimin tidak terprofokasi pemberontakan, namun kubu Muawiyah  menuntut sebAli knya, yakni pihak Khilifah Ali  yang di anggap lemah dalam menegakkan hukum Islam  harus meletakkan pucuk pimpinan nya dan membai’at Muawiyah  sebagai Kholifah. Akhirnya pada bulan Shafar tahun 37 H/ 658 M, peperangan sengit antara Kholifah Ali  dengan pasukan Muawiyah  tak dapat di bendung, berlangsung di Shiffin wilayah Syam dekat tepian sungai Efrat, peperangan ini terkenal dengan perang Shiffin. 
    Dalam perang Shiffin ini kholifah Ali  dapat memukul mundur pasukan Muawiyah bin abi sufyan , saat pasukan Muawiyah  bersiap-siap melarikan diri, tampillah Amr bin Ash dengan siasatnya mengangkat al-Qur’an di ujung tombak sebagai tanda penghormatan kepada wahyu dan peperangan harus di hentikan, semua di kembAli kan dengan hati dan fikiran yang tenang kepada wahyu[9], namun kholifah Ali  mengetahui yang dilakukan Amr bin Ash ini hanyalah siasat untuk melindungi diri, Kholifah Ali  tegas menyerukan terus untuk memerangi kaum pemberontak sampai titik akhir, namun di lain sisi para prajurit Kholifah Ali  harus diam melihat al-Qur’an di ujung tombak, hatinya hanya ingat yang melakukan peperangan adalah sesama kaum muslimin. 
Maka terjadilah Tahkim, perundingan mancari jalan keluar tanpa harus meneteskan darah dalam perundingan ini Muawiyah  diwakili Amr bin Ash dan dari Kholifah Ali  di wakili oleh Abu Musa al-Ash’ary, kedua memperoleh keputusan bahwa kedua penguasa harus sama-sama meletakkan jabatanya[10], Muawiyah  sebagai Gubernur dan Ali  Sebagai Kholifah setelahnya akan di pilih kembAli  oleh masyarakat luas[11], dari sini telah tercium keputusan yang merugikan Kholifah Ali  sebagai pemerintahan yang sah dan hampir memenangkan peperangan.
Setelah shubuh Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ary mengumumkan peletakan jabatan kedua pemimpin itu, Abu Musa al-Asy’ary yang lebih tua di persilahkan terlebih dahulu ke atas podium mengumumkan pada seluruh masyarakat bahwa atas nama pemerintahan Kholifah Ali , sayyidina Ali  meletakkan Jabatanya sebagai kholifah[12], setelah Abu Musa al-Asy’ary menyatakan peletakan jabatan Ali , naiklah Amr bin Ash bahwa ia menyerukan atas nama kubu Muawiyah  menyetujui keputusan Sayyidina Ali  dan saat itu juga di umumkan nya, maka yang berhak menjadi kholifah adalah Muawiyah [13].
Setelah kejadian Tahkim ini ternyata membuat kecewa para militan Kholifah Ali , sehingga terjadilah perpecahan, Khowarij yang mula-mula pAli ng kecewa dengan keputusan Ali  tentang di ambilnya tahkim, memakai kata Khawarij artinya golongan yang keluar dari barisan Kholifah Ali [14], selain itu Murji’ah golongan yang lepas tangan dengan masalah yang dilakukan oleh dua Sahabat besar ini, golongan ini menunda keputusan dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan yang maha mengetahui dan maha bijaksana di akhirat kelak[15], Khawarij sebagai barisan sakit hati terus mengincar tokoh-tokoh yang menjadi penyebab ia sakit hati, dengan akan membunuh empat orang yang di anggap mempermainkan Ummat Islam , yakni Muawiyah , Ali  bin Abi Tholib, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary, namun kehendak Tuhan mereka hanya bisa membunuh Kholifah Ali  saja, di tangan Abdurrahman ibn Muljam Kholifah yang Luas Ilmunya Ba>bul ‘Ilm, sahabat tanggguh, pemberani dengan julukan Singa Padang Pasir, pada tanggal 19 Ramadlan tahun 40 Hijriyah bertepatan tahun 661 Masehi menghembuskan nafas terakhir. 
Dengan terbunuhnya KhAli fah Ali  bin Abi Tholib Karramalla>hu Wajhah. Maka masyarakat membai’at putranya Hasan Bin Ali  menjadi Kholifah, di karenakan banyak nya perpecahan dari kaum militan Ali , sehingga pendukung putranya pun menipis juga, di lain sisi Muawiyah  semakin mapan dengan kemakmuran prajuritnya, penindasan sangat potensi di lakukan kubu Muawiyah , maka Hasan bin Ali  mengajak Muawiyah  untuk memadamkan gejolak-gejolak yang makin membara tersebut dengan menawarkan jabatan kekholifahan Ali  di pundak Muawiyah , saat itu Hasan masih menjabat sebagai Kholifah selama 6 Bulan[16], sebelum jabatan Kholifah di serahkan pada Muawiyah  Kholifah Hasan mempunyai perjanjian kepada Muawiyah , jika di sepakati maka jabatan Kholifah akan di serahkan pada Muawiyah , beberapa perjanjian itu di antaranya; 
  1. Jaminan hidup bagi loyAli s Hasan bin Ali
  2. Jika Muawiyah  meninggal jabatan Kholifah di serahkan kembAli  ke tangan Hasan bin Ali . 
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.[17] 
Berlandasan niat Mulya Hasan maka Muawiyah  menerima dengan senang tawaran Hasan bin Ali , hanya sedikit berat pada poin yang kedua yakni Jika Muawiyah  meninggal jabatan Kholifah di serahkan kembAli  ke tangan Hasan bin Ali [18], kekhawatirannya di karenakan takut akan terjadi pertumapahan darah lagi Antara sesama Ummat Islam  yang seharusnya tak perlu terjadi.
Proses pengAli han kepemimpinan Kholifah Hasan bin Ali  secara damai ini di kenal dengan Amul Jama’ah[19] tahun persatuan ummat Muslimin. Ini lah bukti kebenaran ucapan Rasulullah bahwa suatu saat cucunya akan mendamaikan dua golongan yang berselisih.
Militansi Bani Ummayyah  semakin semangat melihat Muawiyah bin abi sufyan menjadi Kholifah secara total, pada hakekatnya, dari semula telah menginginkan jabatan khAli fah itu, tetapi mereka belum mempunyai harapan untuk mencapai cita-cita pada masa Abu Bakar dan Umar. dan setelah Umar ditikam, dan ia menyerahkan permusyawaratan untuk memilih khAli fah yang baru kepada eman orang sahabat, diantaranya Utsman, diwaktu itulah baru muncul harapan besar bagi Bani Ummayyah  dan mereka lalu menyokong pencalonan Ustman secara terang-terangan, dan akhirnya Ustman terpilih. Semenjak itu mulailah Dinasti Ummayyah  meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan “Khilafah Umawiyah”, sehingga dikatakan bahwa khAli fah Ummayyah  itu pada hakekatnya telah berdiri sejak pengangkatan Utsman menjadi khAli fah dan pada masa pemerintahan Utsman inilah Muawiyah  mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syam untuk dapat menjadi pusat kekuasaan Islam  dimasa datang[20].
Perpindahan kekuasaan kepada Muawiyah  Ibn Abi Sufyan telah mengakhiri bentuk pemerintahan yang demokratis menjadi pemerintahan monarki absolute, yakni system kerajaan yang diwariskan secara turun temurun tidak lagi dilakukan dengan pemilihan melalui cara demokratis. Muawiyah  mencontoh system pemerintahan kerajaan Byzantium dan system pemerintahan kekaisaran Persia[21].
Keputusan ini sangat tepat untuk di terapkan saat itu, sebab sejarah berkata dengan adanya demokrasi yang di lakukan masyarakat arab yang berwatak keras malah semakin memancing keributan yang berujung perang saudara, Muawiyah  mengambil keputusan monarchi dengan berbagai musyawarah, di antaranya dengan Mughira, guber-nur Basrah dengan kesimpulan mengangkat putranya Yazid sebagai pengganti dirinya kelak, Mengenai hal ini seorang sejarawan muslim terkemuka yang bernama Ibnu Khaldun dalam kitabnya Mukaddimah menulis : 
“Seorang imam tidak sewajarnya dicurigai meskipun dia telah melantik ayah atau puteranya sendiri sebagai penggantinya. Dia telah dipertanggungjawabkan untuk mengurus kebajikan kaum muslimin selagi dia masih hidup. Lebih daripada itu dia ber-tanggungjawab untuk membasmi, semasa hidupnya (kemungkinan mewabahnya perkara-perkara yang tidak diingini) setelah”
Namun hal ini menimbulkan kebencian kaum Syiah. Diantara orang-orang syi’ah yang pertama kAli  melancarkan permusuhan terbuka terhadap bani Ummayyah  adalah Hajar bin Adi. Ia mengkritik pedas Mughirah bin Syu’bah, sang gubernur Kufah. Berhu-bung Mughirah bertipikal lemah lembut dan pemaaf, maka ia mengingatkannya akan akibat tindakannuya. Ketika Mughirah bin Syu’bah wafat Muawiyah  mengangkat Ziyyad sebagai gubernur Kufah. Maka Ziyyad mengirim surat kepada Muawiyah  mengenai Hajar bin Adi. Dengan kekhawatiran kaum muslimin termakan fitnah lagi Oleh Muawiyah  Hajar bin Adi diundang ke Syam dan membunuhnya bersama pengikut setianya. 
Dalam mengatur dan menguatkan kedaulatan pemerintahan, Muawiyah  melakukan beberapa hal di antaranya:
  1. Meminta Pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali
Setelah resminya Muawiyah  menjadi pucuk pimpinan, agar mulusnya program pemerintahan adalah mutlak bagi bawahan wajib taat pada pimpinan, maka Muawiyah  bin Abi Sufyan meminta kepada Hasan bin Ali  untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai antara Hasan Bin Ali  dengan Muawiyah  dalam sebuah pertemuan di maskin kepada para pendukungnya, Permohonan Muawiyah  telah disetujuinya, Hasan bin Ali  kemudaia mengumpulkan para sahabat setianya di kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada para sahabat setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertemuan itu Hasan menjelaskan sebab apa saja yang melatar melatar belakangi di serahkanya jabatan Kholifah Hasan, serta dengan tegas di jelaskan telah mengakui Muawiyah  sebagai pemimpin. Oleh karena itu, Hasan meminta dengan sangat agar mereka melakukan seperti apa yang dilakukannya, yaitu menjadikan Muawiyah  sebagai pemimpin mereka, dan jangan sekAli -kAli  membantahnya bila telah melakukan bai’at kepadanya, kemudian hasan juga menjelaskan nya di masjid kufah, termasuk orang penting yang hadir saat itu adalah dari pihak Hasan bin Ali  hadir antara lain, Abdullah bin Abbas, Qays bin Sa’ad, Abu Ja’far, Abu Amir, dan lainnya. Sementara dari pihak Muawiyah  hadir antara lain, ’Amr bin Al-Ash, Abu Al-A’war Al-Sulma, ’Amr bin Sufyan.
  1. Memindahkan Pusat Kekuasaan ke Damaskus
Setelah kaum loyAli s Hasan bin Ali  dengan penuh hati mendukung hasan, kekuatan Muawiyah bin abi sufyan semakin mapan, langkah cantik yang dilakukan selanjutnya adalah usahanya memindahkan pusat pemerintahan Islam  dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan ini dilakukan karena di kota itulah pusat kekuasaan Muawiyah  bin Abi Sufyan sebenarnya. Di kota itulah para pendukung setianya berada. Dari kota Damaskus Muawiyah  mengendAli kan pemerintahan dan mengatur berbagai kebijakan politik.
Alasan lainnya Muawiyah bin abi sufyan memindahkan pusat kekhAli fahan adalah : karena Kota Damaskus memiliki letak yang sangat strategis bagi Muawiyah  untuk mengambangkan kekuasaanya ke bakas-bekas wilayah kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara. Letak strategis itu tidak hanya dari sisi politik militer, juga dari sisi ekonomi. Sebab kota Damaskus. Syiria terletak di dekat laut Tengah (Laut Mediterania) yang merupakan jalur perdagangan ke Eropa, dengan pemindahan pusat pemerintahan inilah rezim Muawiyah  mengalami perkembangan cukup cepat.
  1. Mengangkat Para Pejabat Gubernur
Muawiyah  bin Abi Sufyan telah memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi kepemimpinannya. Mereka adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi[22]. Kedua orang yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah, memiliki peran yang sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah  menjadi khAli fah. Sementara Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri kesempatan oleh Muawiyah  untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yaitu gubernur Basrah. 
Salah satu alasan Muawiyah  merangkul  Amr bin Al-Ash, adalah karena ia telah memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding dengannya. Ia kemudian di ajak kerjasama dalam mengahadapi kekuatan Ali  bin Abi ThAli b, yang kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukan Mesir  dan setelah berhasil Amr di percaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muawiyah  bin Abi Sufyan berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas, khususnya para pendukung Ali  dan Hasan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut tetap di percayakan kepada Amr bin Al-Ash. Pemberian jabatan ini karena Muawiyah  tau persis kemampuan yang di miliki Amr dan kekuatan yang ada padanya. Amr berkuasa sebagai gubernur selama kurang lebih dua tahun (41-43 H).
Selain merangkul Amr bin Al-Ash, Muawiyah bin abi sufyan juga mengangkat  Al-Mhugirah bin Syu’bah. Ia memiliki potensi besar dengan dukungan masa yang cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika Muawiyah  berkuasa sebagai khAli fah, ia melihat Al-Mughirah sebagai seorang tokoh potensial yang perlu di rangkul dengan jabatan strategis di wilayah Kufah, jabatan yang pernah di dipegang selama satu tahun atau dua tahun ketika Umar bin Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah Syiria. Ia mengaku jabatan ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah ia wafat, wilayah kekuasaanya di gabungkan Muawiyah  ke dalam wilayah pemerintahan gubernur Ziyad bin Abihi.
Tokoh lainnya yang dianggap perlu diangkat adalah: Ziyad bin Abihi. Dalam pandangan Muawiyah , orang seperti Ziyad juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyad bin Abihi, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyad di beritakan tidak memiliki ayah yang jelas yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyad bin Abihi tetap saja menjadi orang yang di perhitungkan oleh Muawiyah , bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyad di ketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Abi Sufyan yang berasal dari Thaif yang berAli h tangan al-Harits bin Kaldah sebelum Ziyad lahir. Karenanya, Ziyad juga sering di sebut dengan Ziyad bin Abi Sufyan. 
Pada masa khAli fah Ali  bin Abi ThAli b berkuasa, Ziyad di tunjuk sebagai gubernur Basrah dengan tugas khusus di persia bagian selatan. Karenanya ketika Ali  wafat, dan Hasan memberikan kekuasaan kepada Muawiyah  dalam peristiwa Am al-Jama’ah di maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke persia sembunyi di sana. Hal itu di  lakukan karena ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak ajakan Muawiyah  agar Ziyad mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah . 
Berkat kecerdikan Muawiyah  dan kepiawaian, maka Muawiyah  akhirnya mampu mempengaruhi Ziyad untuk bergabung dengannya, bahkan Muawiyah  mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara putri Muawiyah  dengan putra Ziyad bernama Muhammad bin Ziyad. Dengan cara-cara seperti itu, akhirnya Ziyad mau menyatakan bersedia bergabung dan secara otomatis mengakui keberadaan khAli fah Muawiyah  bin Abi Sufyan. Hal tersebut dilakukan Muawiyah  karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyad dalam masalah kemiliteran dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip yang dimilikinya.
Ditempat tugas barunya inilah Ziyad  menyampaikan pidato perdananya kepada masyarakat Basrah. Pidato yang disampaikan sangat mengagumkan dan sekAli gus menggetarkan sendi-sendi orang yang berusaha menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muawiyah . Pidatonya itu di kenal dengan pidato batra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmalah. Isi pidatonya sangat jelas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengulurkan ancaman-ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh.  Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah kalau tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaran dosa hamba sahaya, dan seterusnya. 
Setelah terjadinya ketentraman dan persatuan dalam kedaulatan Islam , Muawiyah bin abi sufyan mulai malancarkan Ekspansi Militer  Ke timur, Pasukan Islam  berhasil menaklukan Khurasan (663-671) dari arah Basrah, menyebrangi sungai Oxus, dan menyerbu Bukhara di Turkistan (674). Ke Barat, Gubernur Mesir  mengirim ekspedisi dibawah pimpinan Uqba bin Nafi menaklukan Afrika Utara yang masih dikuasai Bizantium sampai Algeria. Ke Utara, menye-rang Asia Kecil untuk melawan Bizantium. Muawiyah  juga meluncurkan serangan sebanyak 2 kAli  meskipun tidak berhasil untuk mengepung Konstan-tinople yang dipimpin putranya, Yazid bin Muawiyah

Siyasah Syariyyah

1.  Sejarah perlantikan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq (r.a.)
Al-Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Sahih Bukhari daripada Umar al-Khattab (r.a.) satu hadis yang panjang antaranya:
 “.. Sesungguhnya di antara pengalaman kami ialah ketika Allah mewafatkan Nabi-Nya (s.a.w.), kaum al-Ansor tidak bersama kami sebaliknya mereka berhimpun di Saqifah Bani Saadah. Ali dan az-Zubir dan beberapa orang lain juga tidak bersama-sama dengan kami. Kaum Muhajirin berkumpul di sisi Abu Bakar (r.a.). Aku berkata kepada Abu Bakar: “Marilah bersama kami, kita pergi menemui saudara kita daripada golongan al-Ansor.” Kami pun pergi menemui mereka. Apabila kami hampir kepada mereka, kami bertemu dengan dua orang lelaki soleh. Mereka berdua menceritakan apa yang berlaku dan bertanya: “Ke manakah tujuan kamu wahai sekelian Muhajirin?” Kami  menjawab: “Kami ingin bertemu saudara-saudara kami, golongan al-Ansor.” Mereka berdua berkata: “Tak perlulah kamu pergi kepada mereka sebaliknya selesaikanlah tugas kamu.” Aku berkata: “Demi Allah kami akan menemui mereka.”
Lalu kami pergi ke sana. Setibanya kami di Saqifah Bani Sa’edah kami dapati seorang lelaki yang berselimut berada di tengah-tengah orang rama. Aku bertanya: “Siapakah ini?” Mereka menjawab: “Saad bin Ubadah.” Aku bertanya: “Kenapa dengannya?” Mereka menjawab: “Beliau (r.a.) sakit.”
Sejurus selepas kami duduk seketika, khatib mereka bangun lalu  bertasyahhud dan memuji Allah. Dia berkata: “Kami adalah katibah Islam dan kamu (Muhajirin) adalah kelompok kecil yang menyusup meninggalkan kaum kamu. Tiba-tiba kamu ingin mengalahkan kami dan menguasai kami.” Apabila dia diam, aku ingin bercakap. Aku lebih mengetahui daripadanya beberapa batasan. Apabila aku ingin bercakap Abu bakar berkata: “Biarkan aku yang bercakap. Aku tidak ingin menimbulkan kemarahannya.” Lalu beliau berucap. Sesungguhnya dia lebih lembut dan lebih tenang daripadaku. Demi Allah, tidak ada satu pun perkataan yang ingin aku katakan melainkan dia mengucapkannya dengan tenang. Ia mengucapkan sama seperti apa yang aku ingin ucapkan atau lebih baik daripada yang inginku katakan. Kemudian dia diam. Kata beliau: “Apa yang kamu ucapkan mengenai kebaikan, maka kamulah ahlinya. Sesungguhnya tidak diketahui seseorang yang lebih berhak untuk jawatan ini (khalifah) melainkan kaum Quraisy. Mereka adalah kabilah Arab yang pertengahan dari segi keturunan dan tempat. Sesungguhnya aku redha untuk kamu salah seorang daripada mereka berdua maka berbai`ahlah kamu kepada mereka sekiranya kamu suka.” Lalu beliau memegang tanganku dan tangan Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah  yang duduk bersama kami. Aku tidak membenci apa yang dikatakannya, cuma padaku sekiranya aku dibunuh supaya tidak memikul bebanan ini, ianya lebih aku sukai daripada aku menjadi Amir sedangkan bersamaku Abu Bakar as-Siddiq.
Bangun seorang Ansor dan berkata: “Akulah kayu tangga untuk menunggang unta dan kayu sangga kepada tamar yang merindang. Daripada kami seorang Amir dan daripada kamu seorang Amir wahai sekelian Quraisy.” Lalu berlakulah kekalutan dan kebisingan sehingga membawa perselisihan. Lalu aku berkata bentangkanlah tanganmu wahai Abu Bakar. Lalu beliau menghulurkan tangannya. Aku membai`ahnya dan diikuti oleh sekelian Muhajirin. Kemudian beliau dibai`ah oleh kaum al-Ansor….”[1]
Inilah bai’ah pertama kepada Abu Bakar (r.a.), iaitulah bai’ah golongan pembesar sahabat dari kalangan Quraisy dan golongan al-Ansor. Bai’ah ini kemudiannya diikuti oleh bai’ah umat Islam di masjid.
Bukhari meriwayatkan dalam Sahih Bukhari daripada Anas bin Malik (r.a.) bahawa beliau telah mendengar khutbah Umar (r.a.) apabila beliau naik ke mimbar iaitu selepas sehari kewafatan rasulullah (s.a.w.) lalu beliau mengucap syahadah, ketika itu Abu Bakar (r.a.) diam. Beliau berkata:
“Aku berharap Rasulullah (s.a.w.) masih hidup dan dapat menyusun urusan kita – dia mengharapkan dialah yang terakhir – Walau pun Muhammad  (s.a.w.) sudah wafat tetapi bersama kamu ada cahaya yang boleh kamu jadikan pedoman sebagaimana yang ditunjuk oleh Rasulullah (s.a.w.). Sesungguhnya Abu Bakar (r.a.) merupakan sahabat Rasulullah (s.a.w.) yang disebut di dalam al-Quran sebagai `tsani itsnain iz huma fil ghar’. Sesungguhnya dia lebih utama untuk urusan kamu. Maka bangunlah kamu sekelian berbai’ah kepadanya.” Anas bin Malik (r.a.) berkata: “Sesungguhnya sebahagian mereka telah berbai’ah dengannya dan bai’ah umum di atas mimbar.”
Ibnu Kasir berkata: Ibnu Ishak berkata: “Kemudian Abu Bakar berucap. Beliau memuji Allah lalu berkata:
“Wahai Manusia, sesungguhnya aku telah di lantik memimpin kamu dan bukanlah aku yang terbaik di kalangan kamu. Sekiranya aku berbuat baik, maka taatilah aku. Sekiranya aku berbuat keburukan, betulkanlah aku. Kebenaran itu amanah dan dusta itu khianat. Orang yang lemah di sisi kamu adalah kuat di sisiku sehingga aku kembalikan haknya. Orang yang kuat di kalangan kamu adalah lemah di sisiku sehingga aku mengambil hak daripadanya jika Allah mengkehendaki. Tidak ada sesuatu kaum yang meninggalkan jihad melainkan Allah akan menjatuhkan mereka dengan kehinaan. Tidak akan berlaku kemungkaran yang berleluasa di dalam sesuatu kaum melainkan Allah akan menurunkan bala’ kepada mereka seluruhnya. Taatilah aku selagimana aku mentaati Allah dan Rasul-Nya. Maka sekiranya aku memaksiati Allah dan Rasul-Nya, maka tidaklah perlu kamu mentaatiku. Bangunlah untuk menunaikan solat., semoga Allah mengasihi kamu.”[2]
Kesimpulan:
Daripada himpunan peristiwa ini dapatlah diambil beberapa pengajaran antaranya:
Menunjukkan bahwa Nabi (s.a.w.) tidak menaskan dengan nyata siapakah khalifah selepas baginda.
1-    Bai’ah kepada Abu Bakar (r.a.) berlaku selepas selesai mesyuarat di antara sahabat-sahabat besar di kalangan Muhajirin dan al-Ansor. Ini menunjukkan bahawa yang membuat pemilihan ialah mereka yang dimuliakan di kalangan para ulama’ dan para pemimpin. Inilah yang dinamakan sebgai ‘ahli halli wal aqdi’.
2.    Tidak disyaratkan ijma’ keseluruhan umat. Malah tidak mudharat sekiranya berlaku penentangan daripada sebahagian kecil sebagaimana yang berlaku terhadap Saad bin Ubadah (r.a.) yang tidak menyetujuinya.
3.    Adalah suatu yang syar’ie berlakunya bai’ah di kalangan ahli halli wal aqdi dahulu sebelum bai’ah umat keduanya, sebagaimana yang berlaku kepada khalifah Abu Bakar (r.a.)
4.    Tidak disyaratkan dalam pemilihan kehadiran semua ahli halli wal aqdi sebagaimana Ali bin Abi Thalib (r.a.) dan az-Zubair bin al-Awwam (r.a.) tidak hadir kerana menguruskan jenazah Nabi (s.a.w.) walaupun mereka berdua berbai’ah selepas itu.

1.    Sejarah perlantikan Umar al-Khattab (r.a.)
Manakala perlantikan khalifah Umar al-Khattab thabit dengan cara yang berbeza iaitu melalui perlantikan oleh khalifah sebelumnya. Ibnu al-Jauzi berkata:
“Daripada al-Hasan bin Abi al-Hasan (r.a.) katanya: “Apabila Abu Bakar mulai sakit tenat, beliau menghimpunkan sahabatnya dan berkata: “Sesungguhnya telah sampai kepada aku apa yang kamu lihat dan aku menyangka ianya akan sampai (ajal). Allah telah melepaskan sumpah kamu daripada bai’ahku, dan telah terongkai simpulannya. Telah dikembalikan kepada kamu urusan kamu, maka kamu lantiklah sesiapa yang kamu suka. Sekiranya kamu melantiknya pada masa aku hidup, ini lebih baik supaya kamu tidak berselisih selepasku. Lalu mereka pun bangun meninggalkannya tetapi tiada keputusan bagi mereka. Mereka berkata: “Khabarkanlah kepada kami wahai khalifah Rasulullah (s.a.w.).” Katanya: “Kamu akan berselisih?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau bertanya: “Maka kamu redha dengan pilihan Allah ke atas kamu ?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Berikan kepadaku waktu seketika untuk aku melihat siapa yang terbaik untuk Allah, untuk agama-Nya dan untuk hamba-Nya.” Lalu Abu Bakar (r.a.) bertanya Uthman bin Affan (r.a.): “Berikanlah pendapat kamu mengenai seorang  lelaki. Demi Allah kamu pada sisiku adalah berkeahlian dan berkedudukan.” Lalu beliau (Uthman) berkata: “Umar.” Katanya: “Tulislah.” Lalu ditulis sehingga sampai kepada nama beliau, beliau pun pitam. Kemudian dia sedar dan berkata: “Tulislah Umar.”
Disebut juga bahawa: Abu Bakar as-Siddiq apabila hampir ajalnya telah memanggil Abdul Rahman bin Auf (r.a.) dan berkata: “Khabarkan kepadaku mengenai Umar bin Al-Khattab.” Lalu Abdul Rahman berkata: “Apa yang kamu tanyakan kepadaku ini, kamu lebih mengetahuinya daripadaku.” Maka Abu Bakar (r.a.) berkata: “..dan sekiranya…” Kata Abdul Rahman: “Dia demi Allah lebih baik daripada pendapat kamu padanya.” Kemudian Abu Bakar (r.a.) memanggil Uthman bin Affan (r.a.) dan berkata: “Ceritakan kepadaku mengenai Umar”, maka Uthman (r.a.) menjawab: “Kamu lebih berpengalaman daripadaku mengenainya.”
Abu Bakar telah bermesyuarat dengan Said bin Zaid, (r.a.) Abu al-A’war (r.a.), Usaid bin al-Hudhair (r.a.) dan lain-lain lagi daripada al-Muhajirin dan al-Ansor.
Sebahagian sahabat Nabi yang mendengar bahawa Abdul Rahman  (r.a.)dan Uthman (r.a.) menemui Abu Bakar (r.a.) di tempatnya dan berkata salah seorang daripada mereka: “Apa yang akan engkau kata kepada Tuhanmu apabila engkau ditanya mengenai perlantikan Umar (r.a) selepas engkau, sedangkan engkau tahu sifat kasarnya?” Lalu Abu Bakar berkata: “Dudukkanlah aku. Apakah kamu takutkan aku dengan Allah? Celakalah sesiapa yang menambah dalam urusan kamu dengan kezaliman. Aku akan berkata kepada-Nya: “Ya Allah, sesungguhnya aku telah tinggalkan urusan mereka kepada sebaik-baik makhluk-Mu.” Kemudian dia baring dan memanggil Uthman bin Affan (r.a.) dan berkata: “Tulislah: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Ini ialah perlantikan yang dilakukan oleh Abu Bakar bin Abi Qahafah pada akhir hayatnya di dunia dan di awal kehidupannya di akhirat; yang diambang  memasukinya dimana hari ini dipercayai oleh yang kafir, di yakini oleh yang berdosa, dan dipercayai orang yang dahulunya tidak mempercayainya. Bahawa aku telah melantik ke atas kamu selepasku Umar al-Khattab. Maka dengarkanlah kata-katanya dan taatilah dia. Sesungguhnya aku tidak tinggalkan kepada Allah, Rasul-Nya, agama-Nya, diriku dan kepada kamu melainkan kebaikan, sekiranya diubah maka bagi setiap orang balasan dosa apa yang dilakukannya, aku tidak mengetahui perkara ghaib, dan orang-orang yang zalim akan mengetahui di manakah tempat kembali mereka, dan salam sejahteralah ke atas kamu.
Kemudian diperintahkan agar surat itu dicop.
Kemudian beliau memerintahkan Uthman (r.a.) keluar membawa kertas yang telah dicopkan tersebut bersama Umar bin Al-Khattab dan Usaid bin Said al-Khurdhi. Uthman (r.a.) berkata kepada orang ramai: “Apakah kamu akan berbai’ah kepada sesiapa yang tertera namanya di dalam kertas ini?” Mereka menjawab: “Ya.” Sebahagian daripada mereka berkata: “Kami telah tahu.” Ibnu Saad berkata kepada yang berkata tadi: “Dia ialah Umar.” Mereka mengiktirafnya, meredhainya dan berbai’ah kepadanya.
Kemudian Abu Bakar (r.a.) memanggil Umar (r.a.) secara sendirian lalu mewasiatkan sesuatu kepadanya. Abu Bakar (r.a.) kemudian keluar dan mengangkat tangannya seraya berkata: “Ya Allah, aku tidak kehendaki dengan apa yang aku lakukan ini melainkan kebaikan kepada mereka dan mengurangkan fitnah daripada mereka. Dengan itu aku lakukan terhadap mereka sebagaimana yang Engkau ketahuinya. Aku telah berusaha berfikir untuk mereka. Maka aku lantik ke atas mereka seorang yang terbaik dan yang terkuat di kalangan mereka serta seorang yang lebih memelihara terhadap apa yang aku tunjukkan kepada mereka. Sesungguhnya telah tiba kepadaku  urusan engkau (ajalku)  lalu aku gantikan kepada mereka (khalifah selepasku) . Mereka adalah hamba-Mu. Nyawa mereka di tangan-Mu. Berikanlah untuk mereka dan kepada mereka kebaikan. Jadikanlah dia di antara khulafa’ Engkau yang mendapat petunjuk yang mengikut petunjuk nabi ar-Rahmah dan petunjuk orang-orang soleh selepasnya dan perelokkanlah baginya rakyatnya.”[3]
Kesimpulan:
Daripada kisah ini bolehlah dibuat kesimpulan bahwa:
1.  Harus melantik peribadi tertentu sebagai pengganti khalifah.
2.  Bermesyuarat dengan ahli al-halli wal aqd sebelum berazam menentukan khalifah.
3.  Menulis surat perlantikan kepada khalifah yang akan mengganti.
4.  Perlantikan secara ‘al ahd’ tidak cukup sebagai perlantikan imam tetapi hendaklah mendapat bai’ah umat.

3. Pemilihan Uthman Al-Affan (r.a.)

Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Sahih Bukhari daripada Amru bin Maimun yang menceritakan kisah Umar al-Khattab (r.a.) ditikam dan diusung ke rumahnya kemudian para sahabat masuk menemuinya. Mereka berkata: “Wasiatkanlah wahai Amirul Mukminin. Lantiklah pengganti.” Umar (r.a.) berkata: “Aku tidak dapati untuk urusan ini melainkan kumpulan ini yang Rasulullah (s.a.w.) wafat dengan meredai mereka;[4] lalu beliau telah menamakan mereka itu, iaitu; Ali, Uthman, az-Zubair, Talhah, Saad dan Abdul Rahman.  Beliau berkata: “.Pemilihan akan disaksikan oleh Abdullah bin Umar dan perkara ini bukanlah haknya sedikit pun. Sekiranya kepimpinan ini diberikan kepada Saad, maka kepadanyalah. Jka tidak, maka sesiapa sahaja yang dilantik menjadi Amir mintalah bantuannya. Sesungguhnya aku tidak akan membuangnya kerana lemah atau khianat…” sehingga berkata rawi:
Apabila selesai pengkebumiannya, kumpulan tersebut mengadakan pertemuan. Lalu Abdul Rahman (r.a.) berkata kepada mereka : “ Serahkan urusan ini( Amir )kepada tiga orang daripada kamu.” Lalu Al-Zubair berkata aku serahkan urusanku kepada Ali[5]. Talhah berkata: “Aku serahkan urusanku kepada Uthman”, dan Saad berkata: “Aku serahkan urusanku kepada Abdul Rahman bin ‘Auf.”

Abdul Rahman berkata: “Siapakah di kalangan kamu yang ingin berlepas diri daripada urusan ini, supaya kami dapat jadikan urusan ini kepadanya, demi Allah ke atasnya dan Islam yang dilihatnya dirinya lebih utama daripada mereka, Lalu kedua-dua mereka diam.

 Abdul Rahman berkata: “Apakah kamu berdua serahkannya kepadaku demi Allah supaya aku tidak meninggalkan yang lebih baik antara kamu? Mereka berdua berkata:  ya. Lalu beliau telah memegang tangan salah seorang daripada mereka dan berkata: Kamu mempunyai hubungan kerabat dengan rasulullah (s.a.w.) dan terlebih dahulu memeluk Islam, sekiranya aku melantikmu adakah engkau akan berlaku adil, dan sekiranya aku melantik Uthman adakah kamu akan dengar dan taat.

Kemudian dia bersama seorang lagi dan berkata seumpamanya, maka apabila tiba masa perlantikan, beliau berkata: “Hulurkan tanganmu wahai Uthman. Aku berbai’ah kepadamu.” Lalu beliau berbai’ah kepada Uthman dan Ali berbai’ah kepadanya. Seterusnya semua ahli rumah itu masuk dan berbai’ah kepadanya.[6]
Kesimpulan:
Perkara yang mungkin disimpulkan mengenai perlantikan Uthman bin Affan (r.a.) ialah bahawa:
1.  Harus melantik beberapa orang yang tidak ditentukan siapakah peribadi yang dilantik secara khusus. Imam Ibnu Taimiah mengatakan bahawa:
“Sebab tidak ditentukan seseorang secara khusus daripada enam orang itu ialah supaya tidak berlaku perselisihan kerana beliau memandang keenam-enam mereka mempunyai kelebihan yang sama. Begitu juga sekiranya beliau memilih seseorang dan seseorang yang ditentukan itu tidak dapat menunaikan tugas dengan baik, maka Umar akan merasai dia bertanggungjawab maka sebab itu beliau tidak menentukan secara khusus siapakah yang hendak dilantik”
Kata Ibnu Battal sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Jarir di dalam kitabnya: “Cara ini[7] merupakan himpunan cara Rasulullah (s.a.w.) pada meninggalkan memilih peribadi tertentu dan menyerahkannya kepada muslimin dan cara Abu Bakar (r.a.) yang memilih peribadi tertentu lalu Umar telah mengikut amalan nabi dengan tidak mennetukan sesipa yang patut dipilih dan amalan Abu Bakar iaitulah menentukan khalifah kepada salah seorang daripada enam orang, maka ianya merupakan cara yang menghimpunkan antara pemilihan dan perlantikan.[8]

4. Perlantikan Ali (r.a.)
Selepas peristiwa syahidnya Uthman al-Affan (r.a.) berlaku perpecahan dalam saf muslimin dan berlaku perlisihan pertama di dalam masalah perlantikan khalifah. Perlantikan khalifah Ali (r.a.) menghadapi banyak kesukaran. Antaranya; peristiwa pembunuhan Uthman bin Affan, pembunuh menyertai saf Ali, umat Islam menuntut qisas daripada mereka, kengganan penduduk Syam keseluruhannya untuk berbai’ah dan beberapa sahabat besar seperti Tolhah, az-Zubair, Aisyah dan lain-lain keluar menentang Ali (r.a.)
Daripada Muhammad bin Al Hanafiah katanya: “Aku bersama Ali (r.a.) ketika Uthman (r.a.) sedang dikepung. Datang seorang lelaki dan berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh.” Kemudian datang seorang lagi dan berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh sekarang.” Katanya, lalu Ali pun bangun, lalu aku duduk dihadapannya kerana bimbangkannya, lalu katanya, ketepi, katanya lagi: Lalu Ali tiba dirumah Uthman sedangkan Uthman telah terbunuh lalu dia memasuki rumah dan menutup pintu, Lalu beberapa orang datng dan membuka pintu dan masuk kepadanya dan berkata: Dia telah terbunuh, rakyat memerlukan khalifah dan kami tidak dapati seseorangpun yang lebih layak selain kamu, lalu Ali berkata: Janganlah kamu menghendaki aku, aku sebegai menteri untuk kamu lebih baik daripada aku menjadi amir. Mereka berkata: Tidak demi Allah kami tidak mendapati seorangpun yang lebih berhak daripada kamu, katanya: Sekiranya kamu enggan menolakku juga maka bai’ahku tidak secara sulit tetapi aku akan keluar kemasjid maka siapa suka dia bai’ahkan aku, lalu beliau keluar ke masjid lalu rakyat berbai’ah kepadanya.[9]