Jumaat, 20 Januari 2017

Sejarah Pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan












Muawiyah  adalah keturunan yang ke tiga dari Ummayyah  dengan silsilah Muawiyah  bin Sakhr (dikenal dengan sebutan Abu sufyan) Bin Harb Bin Ummayyah [4] bin Abu Sufyan, lahir di Makkah 15 tahun sebelum hijrah. Muawiyah bin abi sufyan masuk Islam  ketika terjadi fathu makkah. Saat itu ia baru berusia 23 tahun. Ia juga menjadi salah seorang periwayat hadis yang baik, pribadinya cerdas, selalu optimis dan mahir dalam mengatur strategi pemerintahan. 
Menjabatnya Muawiyah bin abi sufyan sebagai kepala Pemerintahan bukan atas keputusan totAlitas kaum Muslimin, ketika Kholifah Usman bin affa>n R.A. 
Kejadian tetbunuhnya Kholifah Usman bin Affan menjadi lahan membarahnya kaum munafiq dalam melancarkan fitnah-fitnah Intern kaum muslimin, desas-desus ketidak sepakatan dengan keputusa Sayyidina Ali .R.A yang telah mencopot beberapa pentolan-pentolan diwilayah Islam  dari keputusan Kholifah Usman yang memang mayoritas mempunyai hubungan darah dengan pimpinanyan yakni Kholifah Usman, ditambah lagi dari golongan Muawiyah  dengan egoisnya yang menginginkan keadilan atas pembunuhan Kholifah Usman belum juga terlaksana, di karenakan kholifah Ali  sibuk dalam sterilisasi perAli han kepemimpinan, memang sewajarnya seorang pemimpin memikirkan warga secara totAli tas tanpa pandang bulu, dari hemat pengamatan penulis kondisi ini sangat potensi kaum munafiqin untuk mengobrak-abrik ketaatan antara  bawahan terhadap pucuk pimpinan, factor fanatic ke sukuan yang kental menjadi angin pendorong layar keegoisan menuju pertempuran, sehingga benar-benar terjadi kaum yang terorganisir untuk menentang pemerintahan Kholifah Ali  yang sah.
tanggapan kubu sayyidina Ali  selalu siap meluruskan siapa saja yang menyimpang dari ajaran Islam  termasuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, yang akhirnya terjadilah peperangan yang di komandoi oleh sayyyidatina Aisyah popular dengan sebutan perang jamal pada tahun 36 H/657 M, perang jamal ini terjadi atas profokator Abdullah bin Zubair dan Tholhah yang menginginkan kedudukan Kholifah[5] menghasud Aisyah untuk memimpin perang melawan Kholifah Ali , namun Kholifah Ali  sangat mengetahui dalang pertempuran itu sehingga saat Zubair dan Tholhah terbunuh Kholifah Ali  sangat menyanjung Aisyah sebagai Ummul Mu’minin dan mengembAli kan Aisyah ke makkah dengan penuh penghormatan[6].
Para pemfitnah belum berhenti di sini, sahabat Muawiyah  bin abi sufyan yang menjadi gunernur Syam[7] belum membaiat Kholifah Ali , selalu di desak untuk mengadili pembunuh Kholifah usman dengan beberapa kampanye tidak boleh taat pada pemimpin yang tidak menjalankan syari’at Islam , melihat banyak nya kaum muslimin yang terpengaruh oleh fitnah-fitnah ini akhirnya Kholifah Ali  mengirimkan surat kepada Muawiyah  yakni bersedia Membai’at Kholifah Ali  atau meletakkan jabatannya, tetapi Muawiyah bin abi sufyan tidak menentukan pilihannya sebelum tuntutan dari keluarga Muawiyah  terpenuhi, kokohnya tuntutan  Muawiyah  kepada Ali  untuk mengadili pembunuh Usman, di sebabkan kubu Muawiyah bin abi sufyan mencium bau bahwa pelaku pembunuhan Usman adalah dari pihak Ali , bahkan pemimpinya Muhammad bin Abu Bakar[8] dijadikan Gubernur Mesir . 
Dari genjarnya kampanye yang di lakukan kubu Muawiyah  untuk menentang Kholifah Ali , semakin banyaklah para simpatisan Muawiyah , sehingga terkumpul pasukan yang siap meyerang rezim Kholifah Ali , Kholifah Ali  pun telah mempersiapkan pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan serta bantuan basukan dari Azerbejan dan Mesir  atas komando Muhammad bin Abu Bakar, sebelum terjadi peperangan, Kholifah Ali  terus menawarkan kepada Muawiyah  agar bisa membai’at Ali  atau terpaksa meletakkan Jabatan nya agar kaum muslimin tidak terprofokasi pemberontakan, namun kubu Muawiyah  menuntut sebAli knya, yakni pihak Khilifah Ali  yang di anggap lemah dalam menegakkan hukum Islam  harus meletakkan pucuk pimpinan nya dan membai’at Muawiyah  sebagai Kholifah. Akhirnya pada bulan Shafar tahun 37 H/ 658 M, peperangan sengit antara Kholifah Ali  dengan pasukan Muawiyah  tak dapat di bendung, berlangsung di Shiffin wilayah Syam dekat tepian sungai Efrat, peperangan ini terkenal dengan perang Shiffin. 
    Dalam perang Shiffin ini kholifah Ali  dapat memukul mundur pasukan Muawiyah bin abi sufyan , saat pasukan Muawiyah  bersiap-siap melarikan diri, tampillah Amr bin Ash dengan siasatnya mengangkat al-Qur’an di ujung tombak sebagai tanda penghormatan kepada wahyu dan peperangan harus di hentikan, semua di kembAli kan dengan hati dan fikiran yang tenang kepada wahyu[9], namun kholifah Ali  mengetahui yang dilakukan Amr bin Ash ini hanyalah siasat untuk melindungi diri, Kholifah Ali  tegas menyerukan terus untuk memerangi kaum pemberontak sampai titik akhir, namun di lain sisi para prajurit Kholifah Ali  harus diam melihat al-Qur’an di ujung tombak, hatinya hanya ingat yang melakukan peperangan adalah sesama kaum muslimin. 
Maka terjadilah Tahkim, perundingan mancari jalan keluar tanpa harus meneteskan darah dalam perundingan ini Muawiyah  diwakili Amr bin Ash dan dari Kholifah Ali  di wakili oleh Abu Musa al-Ash’ary, kedua memperoleh keputusan bahwa kedua penguasa harus sama-sama meletakkan jabatanya[10], Muawiyah  sebagai Gubernur dan Ali  Sebagai Kholifah setelahnya akan di pilih kembAli  oleh masyarakat luas[11], dari sini telah tercium keputusan yang merugikan Kholifah Ali  sebagai pemerintahan yang sah dan hampir memenangkan peperangan.
Setelah shubuh Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ary mengumumkan peletakan jabatan kedua pemimpin itu, Abu Musa al-Asy’ary yang lebih tua di persilahkan terlebih dahulu ke atas podium mengumumkan pada seluruh masyarakat bahwa atas nama pemerintahan Kholifah Ali , sayyidina Ali  meletakkan Jabatanya sebagai kholifah[12], setelah Abu Musa al-Asy’ary menyatakan peletakan jabatan Ali , naiklah Amr bin Ash bahwa ia menyerukan atas nama kubu Muawiyah  menyetujui keputusan Sayyidina Ali  dan saat itu juga di umumkan nya, maka yang berhak menjadi kholifah adalah Muawiyah [13].
Setelah kejadian Tahkim ini ternyata membuat kecewa para militan Kholifah Ali , sehingga terjadilah perpecahan, Khowarij yang mula-mula pAli ng kecewa dengan keputusan Ali  tentang di ambilnya tahkim, memakai kata Khawarij artinya golongan yang keluar dari barisan Kholifah Ali [14], selain itu Murji’ah golongan yang lepas tangan dengan masalah yang dilakukan oleh dua Sahabat besar ini, golongan ini menunda keputusan dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan yang maha mengetahui dan maha bijaksana di akhirat kelak[15], Khawarij sebagai barisan sakit hati terus mengincar tokoh-tokoh yang menjadi penyebab ia sakit hati, dengan akan membunuh empat orang yang di anggap mempermainkan Ummat Islam , yakni Muawiyah , Ali  bin Abi Tholib, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary, namun kehendak Tuhan mereka hanya bisa membunuh Kholifah Ali  saja, di tangan Abdurrahman ibn Muljam Kholifah yang Luas Ilmunya Ba>bul ‘Ilm, sahabat tanggguh, pemberani dengan julukan Singa Padang Pasir, pada tanggal 19 Ramadlan tahun 40 Hijriyah bertepatan tahun 661 Masehi menghembuskan nafas terakhir. 
Dengan terbunuhnya KhAli fah Ali  bin Abi Tholib Karramalla>hu Wajhah. Maka masyarakat membai’at putranya Hasan Bin Ali  menjadi Kholifah, di karenakan banyak nya perpecahan dari kaum militan Ali , sehingga pendukung putranya pun menipis juga, di lain sisi Muawiyah  semakin mapan dengan kemakmuran prajuritnya, penindasan sangat potensi di lakukan kubu Muawiyah , maka Hasan bin Ali  mengajak Muawiyah  untuk memadamkan gejolak-gejolak yang makin membara tersebut dengan menawarkan jabatan kekholifahan Ali  di pundak Muawiyah , saat itu Hasan masih menjabat sebagai Kholifah selama 6 Bulan[16], sebelum jabatan Kholifah di serahkan pada Muawiyah  Kholifah Hasan mempunyai perjanjian kepada Muawiyah , jika di sepakati maka jabatan Kholifah akan di serahkan pada Muawiyah , beberapa perjanjian itu di antaranya; 
  1. Jaminan hidup bagi loyAli s Hasan bin Ali
  2. Jika Muawiyah  meninggal jabatan Kholifah di serahkan kembAli  ke tangan Hasan bin Ali . 
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.[17] 
Berlandasan niat Mulya Hasan maka Muawiyah  menerima dengan senang tawaran Hasan bin Ali , hanya sedikit berat pada poin yang kedua yakni Jika Muawiyah  meninggal jabatan Kholifah di serahkan kembAli  ke tangan Hasan bin Ali [18], kekhawatirannya di karenakan takut akan terjadi pertumapahan darah lagi Antara sesama Ummat Islam  yang seharusnya tak perlu terjadi.
Proses pengAli han kepemimpinan Kholifah Hasan bin Ali  secara damai ini di kenal dengan Amul Jama’ah[19] tahun persatuan ummat Muslimin. Ini lah bukti kebenaran ucapan Rasulullah bahwa suatu saat cucunya akan mendamaikan dua golongan yang berselisih.
Militansi Bani Ummayyah  semakin semangat melihat Muawiyah bin abi sufyan menjadi Kholifah secara total, pada hakekatnya, dari semula telah menginginkan jabatan khAli fah itu, tetapi mereka belum mempunyai harapan untuk mencapai cita-cita pada masa Abu Bakar dan Umar. dan setelah Umar ditikam, dan ia menyerahkan permusyawaratan untuk memilih khAli fah yang baru kepada eman orang sahabat, diantaranya Utsman, diwaktu itulah baru muncul harapan besar bagi Bani Ummayyah  dan mereka lalu menyokong pencalonan Ustman secara terang-terangan, dan akhirnya Ustman terpilih. Semenjak itu mulailah Dinasti Ummayyah  meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan “Khilafah Umawiyah”, sehingga dikatakan bahwa khAli fah Ummayyah  itu pada hakekatnya telah berdiri sejak pengangkatan Utsman menjadi khAli fah dan pada masa pemerintahan Utsman inilah Muawiyah  mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syam untuk dapat menjadi pusat kekuasaan Islam  dimasa datang[20].
Perpindahan kekuasaan kepada Muawiyah  Ibn Abi Sufyan telah mengakhiri bentuk pemerintahan yang demokratis menjadi pemerintahan monarki absolute, yakni system kerajaan yang diwariskan secara turun temurun tidak lagi dilakukan dengan pemilihan melalui cara demokratis. Muawiyah  mencontoh system pemerintahan kerajaan Byzantium dan system pemerintahan kekaisaran Persia[21].
Keputusan ini sangat tepat untuk di terapkan saat itu, sebab sejarah berkata dengan adanya demokrasi yang di lakukan masyarakat arab yang berwatak keras malah semakin memancing keributan yang berujung perang saudara, Muawiyah  mengambil keputusan monarchi dengan berbagai musyawarah, di antaranya dengan Mughira, guber-nur Basrah dengan kesimpulan mengangkat putranya Yazid sebagai pengganti dirinya kelak, Mengenai hal ini seorang sejarawan muslim terkemuka yang bernama Ibnu Khaldun dalam kitabnya Mukaddimah menulis : 
“Seorang imam tidak sewajarnya dicurigai meskipun dia telah melantik ayah atau puteranya sendiri sebagai penggantinya. Dia telah dipertanggungjawabkan untuk mengurus kebajikan kaum muslimin selagi dia masih hidup. Lebih daripada itu dia ber-tanggungjawab untuk membasmi, semasa hidupnya (kemungkinan mewabahnya perkara-perkara yang tidak diingini) setelah”
Namun hal ini menimbulkan kebencian kaum Syiah. Diantara orang-orang syi’ah yang pertama kAli  melancarkan permusuhan terbuka terhadap bani Ummayyah  adalah Hajar bin Adi. Ia mengkritik pedas Mughirah bin Syu’bah, sang gubernur Kufah. Berhu-bung Mughirah bertipikal lemah lembut dan pemaaf, maka ia mengingatkannya akan akibat tindakannuya. Ketika Mughirah bin Syu’bah wafat Muawiyah  mengangkat Ziyyad sebagai gubernur Kufah. Maka Ziyyad mengirim surat kepada Muawiyah  mengenai Hajar bin Adi. Dengan kekhawatiran kaum muslimin termakan fitnah lagi Oleh Muawiyah  Hajar bin Adi diundang ke Syam dan membunuhnya bersama pengikut setianya. 
Dalam mengatur dan menguatkan kedaulatan pemerintahan, Muawiyah  melakukan beberapa hal di antaranya:
  1. Meminta Pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali
Setelah resminya Muawiyah  menjadi pucuk pimpinan, agar mulusnya program pemerintahan adalah mutlak bagi bawahan wajib taat pada pimpinan, maka Muawiyah  bin Abi Sufyan meminta kepada Hasan bin Ali  untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai antara Hasan Bin Ali  dengan Muawiyah  dalam sebuah pertemuan di maskin kepada para pendukungnya, Permohonan Muawiyah  telah disetujuinya, Hasan bin Ali  kemudaia mengumpulkan para sahabat setianya di kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada para sahabat setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertemuan itu Hasan menjelaskan sebab apa saja yang melatar melatar belakangi di serahkanya jabatan Kholifah Hasan, serta dengan tegas di jelaskan telah mengakui Muawiyah  sebagai pemimpin. Oleh karena itu, Hasan meminta dengan sangat agar mereka melakukan seperti apa yang dilakukannya, yaitu menjadikan Muawiyah  sebagai pemimpin mereka, dan jangan sekAli -kAli  membantahnya bila telah melakukan bai’at kepadanya, kemudian hasan juga menjelaskan nya di masjid kufah, termasuk orang penting yang hadir saat itu adalah dari pihak Hasan bin Ali  hadir antara lain, Abdullah bin Abbas, Qays bin Sa’ad, Abu Ja’far, Abu Amir, dan lainnya. Sementara dari pihak Muawiyah  hadir antara lain, ’Amr bin Al-Ash, Abu Al-A’war Al-Sulma, ’Amr bin Sufyan.
  1. Memindahkan Pusat Kekuasaan ke Damaskus
Setelah kaum loyAli s Hasan bin Ali  dengan penuh hati mendukung hasan, kekuatan Muawiyah bin abi sufyan semakin mapan, langkah cantik yang dilakukan selanjutnya adalah usahanya memindahkan pusat pemerintahan Islam  dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan ini dilakukan karena di kota itulah pusat kekuasaan Muawiyah  bin Abi Sufyan sebenarnya. Di kota itulah para pendukung setianya berada. Dari kota Damaskus Muawiyah  mengendAli kan pemerintahan dan mengatur berbagai kebijakan politik.
Alasan lainnya Muawiyah bin abi sufyan memindahkan pusat kekhAli fahan adalah : karena Kota Damaskus memiliki letak yang sangat strategis bagi Muawiyah  untuk mengambangkan kekuasaanya ke bakas-bekas wilayah kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara. Letak strategis itu tidak hanya dari sisi politik militer, juga dari sisi ekonomi. Sebab kota Damaskus. Syiria terletak di dekat laut Tengah (Laut Mediterania) yang merupakan jalur perdagangan ke Eropa, dengan pemindahan pusat pemerintahan inilah rezim Muawiyah  mengalami perkembangan cukup cepat.
  1. Mengangkat Para Pejabat Gubernur
Muawiyah  bin Abi Sufyan telah memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi kepemimpinannya. Mereka adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi[22]. Kedua orang yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah, memiliki peran yang sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah  menjadi khAli fah. Sementara Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri kesempatan oleh Muawiyah  untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yaitu gubernur Basrah. 
Salah satu alasan Muawiyah  merangkul  Amr bin Al-Ash, adalah karena ia telah memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding dengannya. Ia kemudian di ajak kerjasama dalam mengahadapi kekuatan Ali  bin Abi ThAli b, yang kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukan Mesir  dan setelah berhasil Amr di percaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muawiyah  bin Abi Sufyan berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas, khususnya para pendukung Ali  dan Hasan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut tetap di percayakan kepada Amr bin Al-Ash. Pemberian jabatan ini karena Muawiyah  tau persis kemampuan yang di miliki Amr dan kekuatan yang ada padanya. Amr berkuasa sebagai gubernur selama kurang lebih dua tahun (41-43 H).
Selain merangkul Amr bin Al-Ash, Muawiyah bin abi sufyan juga mengangkat  Al-Mhugirah bin Syu’bah. Ia memiliki potensi besar dengan dukungan masa yang cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika Muawiyah  berkuasa sebagai khAli fah, ia melihat Al-Mughirah sebagai seorang tokoh potensial yang perlu di rangkul dengan jabatan strategis di wilayah Kufah, jabatan yang pernah di dipegang selama satu tahun atau dua tahun ketika Umar bin Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah Syiria. Ia mengaku jabatan ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah ia wafat, wilayah kekuasaanya di gabungkan Muawiyah  ke dalam wilayah pemerintahan gubernur Ziyad bin Abihi.
Tokoh lainnya yang dianggap perlu diangkat adalah: Ziyad bin Abihi. Dalam pandangan Muawiyah , orang seperti Ziyad juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyad bin Abihi, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyad di beritakan tidak memiliki ayah yang jelas yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyad bin Abihi tetap saja menjadi orang yang di perhitungkan oleh Muawiyah , bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyad di ketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Abi Sufyan yang berasal dari Thaif yang berAli h tangan al-Harits bin Kaldah sebelum Ziyad lahir. Karenanya, Ziyad juga sering di sebut dengan Ziyad bin Abi Sufyan. 
Pada masa khAli fah Ali  bin Abi ThAli b berkuasa, Ziyad di tunjuk sebagai gubernur Basrah dengan tugas khusus di persia bagian selatan. Karenanya ketika Ali  wafat, dan Hasan memberikan kekuasaan kepada Muawiyah  dalam peristiwa Am al-Jama’ah di maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke persia sembunyi di sana. Hal itu di  lakukan karena ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak ajakan Muawiyah  agar Ziyad mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah . 
Berkat kecerdikan Muawiyah  dan kepiawaian, maka Muawiyah  akhirnya mampu mempengaruhi Ziyad untuk bergabung dengannya, bahkan Muawiyah  mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara putri Muawiyah  dengan putra Ziyad bernama Muhammad bin Ziyad. Dengan cara-cara seperti itu, akhirnya Ziyad mau menyatakan bersedia bergabung dan secara otomatis mengakui keberadaan khAli fah Muawiyah  bin Abi Sufyan. Hal tersebut dilakukan Muawiyah  karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyad dalam masalah kemiliteran dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip yang dimilikinya.
Ditempat tugas barunya inilah Ziyad  menyampaikan pidato perdananya kepada masyarakat Basrah. Pidato yang disampaikan sangat mengagumkan dan sekAli gus menggetarkan sendi-sendi orang yang berusaha menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muawiyah . Pidatonya itu di kenal dengan pidato batra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmalah. Isi pidatonya sangat jelas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengulurkan ancaman-ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh.  Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah kalau tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaran dosa hamba sahaya, dan seterusnya. 
Setelah terjadinya ketentraman dan persatuan dalam kedaulatan Islam , Muawiyah bin abi sufyan mulai malancarkan Ekspansi Militer  Ke timur, Pasukan Islam  berhasil menaklukan Khurasan (663-671) dari arah Basrah, menyebrangi sungai Oxus, dan menyerbu Bukhara di Turkistan (674). Ke Barat, Gubernur Mesir  mengirim ekspedisi dibawah pimpinan Uqba bin Nafi menaklukan Afrika Utara yang masih dikuasai Bizantium sampai Algeria. Ke Utara, menye-rang Asia Kecil untuk melawan Bizantium. Muawiyah  juga meluncurkan serangan sebanyak 2 kAli  meskipun tidak berhasil untuk mengepung Konstan-tinople yang dipimpin putranya, Yazid bin Muawiyah

Tiada ulasan:

Catat Ulasan